Rabu, 08 Juni 2016

Pendekatan Mimetik Novel Hafalan Shalat Delisa



ANALISIS NOVEL HAFALAN SHALAT DELISA KARYA TERE LIYE DENGAN PENDEKATAN MIMETIK
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kritik Sastra
Dosen Pengampu : Titi Puji Lestari

Oleh:
NITA SARI
1513500058


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERISTAS PANCASAKTI TEGAL
2016
Program Studi Pendidikan Sastra Bahasa Indonesia dan Daerah
Universitas Pancasakti Tegal
2016
Nita Sari

Abstract
Novel adalah sebuah karya fiksi yang ditulis secara naratif dan biasanya ditulis dalam bentuk cerita. Pengarang menulis cerita dari pengalaman pribadi yang difiksikan atau bisa saja mensadur dari cerita-cerita nyata yang ada dikehidupan masyarakat. Novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye merupakan salah satu novel yang mengangkat kisah nyata, pengarang mengaplikasikan kisah nyata dalam sebuah cerita yang apik. Dalam karya sastra tidak terlepas dari kegiatan mengkritik, kritikus akan mengkritik sebuah karya sastra dengan menggunakan beberapa pendekatan salah satunya adalah pendekatan mimetik. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan data tentang analisis pendekatan mimetik yang dibangun dalam “Novel Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye. Berdasarkan analisis data, penelitian ini menghasilkan: 1) adanya nilai religi, 2) gambaran mengenai peristiwa tsunami di Aceh, 3) percintaan, 4) semangat delisa yang tak pernah padam.

Kata kunci : karya sastra, pendekatan mimetik, aspek sosial


A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Sastra diistilahkan sebagai kesustraan yang berasal dari bahasa sansekerta, yaitu sastra. Su yang berarti bagus atau indah, sedangkan dari sastra yang berarti buku, tulisan atau huruf. Secara etimologi, dari arti kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa arti susastra atau sastra adalah tulisan yang indah. Karya sastra adalah hasil kreativitas dan imajinasi yang direpresentasikan dari kehidupan nyata.
Kreativitas itu tidak saja dituntut dalam upaya melahirkan pengalaman batin dalam bentuk karya sastra, tetapi lebih dari itu. Seorang pengarang harus menghayati pengalaman serta permasalahan kehidupan pada masyarakat untuk dituangkan dalam cerita fiksi yang akan ditulis kedalam sebuah karya sasta.
Novel adalah salah satu contoh karya sastra. Dalam novel, pengarang biasanya menceritakan tentang kehidupan yang ditulis apik sehingga pembaca seolah-olah mengalami sendiri apa yang dilukiskan oleh pengarang.
Novel Hafalan Shalat Delisa merupakan salah satu novel karya Darwis Tere Liye yang dibungkus dengan cerita yang sangat apik. Sebuah novel yang menceritakan tentang perjuangan seorang anak yang berusia 6 tahun dalam menghafal bacaan shalat serta keikhlasan dan ketegaran dalam menghadapi segala cobaan yang menimpanya.
Dari uraian pada latar belakang yang telah penulis kemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian. Adapun judul penelitian ini adalah “Analisis Pendekatan Mimetik yang dibangun dalam Novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye”.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah analisis pendekatan mimetik yang dibangun dalam Novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye?
                                                                                    
3.      Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan data tentang analisis pendekatan mimetik yang dibangun dalam Novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye.

B.     PEMBAHASAN
1.      Teori Pendekatan Mimetik
Pandangan Plato tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hierarkis. Menurut Plato ada beberapa tataran tentang Ada (“different planes of being”) yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatarnnya. Yang nyata secara mutlak hanya yang Baik, dan derajat kenyataan semesta bergantung pada derajat kedekatannya terhadap ada yang Abadi (Verdenius dalam Teeuw 2003:181). Dunia empiris tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, peneladanan atau pembayangan ataupun peniruan (sebab terjemahan kata mimesis tidak mudah), misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan , kata meniru benda, bunyi meniru keselarasan ilahi, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru kebenaran, pemerintahan manusia meniru pemerintahan ideal, manusia yang saleh meniru dewa-dewanya dan seterusnya.
Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri dibawah kenyataan itu sendiri rendah dari kenyataan yang tampak, namun seni yang sungguh-sungguh mencoba mengatasi kenyataan sehari-hari. Bagi Plato, tidak ada pertentangan antara realisme dan dealisme dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakiki kenyataan itu. Dengan demikian seni yang baik harus truthful (benar) dan seniman harus bersifat modest (rendah hati), dia harus tau bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah. Lagi pula seniman cenderung mengimbau bukan rasio, nalar manusia, melainkan nafsu-nafsu dan emosinya yang menurut Plato justru harus ditekan. Seni menimbulkan nafsu sedangkan manusia yang berasio justru harus meredakan nafsunya.
Kritik sastra yang memandang bahwa karya sastra itu sebagai tiruan dari aspek-aspek alam, pencerminan atau penggambaran (representasi) tentang dunia dan kehidupannya. Kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” representasi pada objek-objek yang digambarkan ataupun yang hendaknya digambarkan.
Suroso (2009:22) berpendapat bahwa Mimesis itu sendiri merupakan imitasi (tiruan) dari aspek-aspek yang ada didalam semesta. Jadi, ada dua hal yang saling berkaitan  dalam mimesis, yaitu antara yang diimitasi (alam semesta, kehidupan, karya sastra) dan imitasinya (tiruannya, karya sastra baru yang merupakan hasil saduran, disebut ciptaan kembali atau versi gubahan baru).
2.      Sinopsis Novel Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye
Novel hafalan shalat Delisa ini menceritakan tentang seorang anak perempuan berumur 6 tahun, namanya Delisa, anak bungsu dari empat bersaudara dalam keluarganya, kakak-kakaknya bernama Cut Fatimah, Cut Zahra, dan Cut Aisyah. Mereka berdomisili di Aceh, tepatnya di Lhok Nga. Abi, panggilan untuk ayahnya, bekerja sebagai seorang pelaut. Bekerja sebagai ahli mesin kapal tanker, berlayar hingga berbulan-bulan. Ummi, panggilan untuk ibunya, tinggal bersama ia dan ketiga kakanya di Aceh.
Suatu hari, Delisa mendapatkan tugas dari gurunya, Ibu Guru Nur, yakni tugas menghafal bacaan sholat. Motivasi dari Ummi, berjanji akan memberikan hadiah jika ia bisa menghafal bacaan sholat, menambah semangat Delisa untuk menghafal. Hadiah yang dijanjikan Ummi itu berupa kalung yang dibeli di toko Koh Acan, Koh Acan adalah penjual perhiasan di pasar Lhok Nga. Koh Acan juga sahabat Abi Delisa. Saat itu Koh Acan memilihkan kalung yang ada huruf D, artinya D untuk Delisa.Delisa senang bukan kepalang dan tak sabar untuk mengenakan kalung itu.
Delisa menghafal diwarnai dengan sikap kakak-kakaknya yang pro dan kontra. Ustadz Rahman yang merupakan guru TPA Delisa, juga banyak mengisi hari-hari Delisa menjelang setoran hafalan shalatnya pada Ibu Guru Nur. Semangat dan usaha Delisa tak sia-sia, ia mampu menghafal bacaan shalat. Ia bertekad harus lancar saat praktik di depan Ibu Guru Nur dan teman lainnya. Shalat yang sempurna untuk pertama kalinya.
Ketika Delisa mempraktikkan hafalan sholatnya di depan kelas, gempa yang disertai tsunami melanda bumi Aceh. Seketika keadaan berubah. Ketakutan dan kecemasan menerpa setiap jiwa saat itu. Namun, Delisa tetap melanjutkan hafalan sholatnya. Sesaat akan melaksanakan sujud pertamanya, Delisa roboh dan hanyut oleh terjangan air laut yang sangat kuat.
Hari itu adalah hari dimana semua perhatian tertuju pada Aceh. Korban mencapai 15.000 jiwa, mungkin bisa lebih. Termasuk Ummi, dan ketiga kakak Delisa juga menjadi korban. Beruntung Delisa bisa selamat karena Ibu Guru Nur mengikat Delisa pada sebuah papan dengan kerudungnya. Meskipun Ibu Guru Nur juga meninggal dunia. Berhari-hari Delisa terbaring kaku di semak-semak, kaki dan tangannya patah, tapi gadis kecil ini masih bernafas. Sampai akhirnya, Angkatan Laut Amerika menemukan Delisa. Delisa harus dirawat, kondisinya kritis, kakinya harus diamputasi. Suster Shopi dan kak Ubay adalah sukarelawan yang merawat Delisa di atas kapal Angkatan Laut Amerika. Mereka menyayangi Delisa. Walaupun ini sangat berat bagi Delisa, ditambah lagi dengan berita buruk ketiga kakaknya telah meninggal, jasadnya dikuburkan di kuburan masal. Sedangkan Ummi Delisa belum ditemukan jasadnya. Tapi mereka tetap memotivasi Delisa untuk tetap bertahan hidup, untuk melanjutkan kehidupan, menerima semuanya dengan ikhlas.
Setelah kabar tsunami di Aceh santer seantero dunia, Abi Delisa pulang dari Kanada untuk melihat keadaan keluarganya. Abi sangat sedih melihat keadaan Lhok Nga yang sudah datar, tinggal puing-puing. Kabar telah dikuburkannya Aisyah, Zahra, dan Fatimah membuat Abi semakin sedih. Sampai akhirnya ada kabar, Delisa masih hidup, ia dirawat di Kapal Angkatan Laut Amerika, itu membuat Abi merasa masih ada harapan. Kesedihan Abi berkurang. Meskipun belum ada kabar tentang Ummi.
Delisa bertemu dengan Abi. Delisa menceritakan semuanya dengan tenang. Tidak terlihat sebuah penyesalan dan pembangkangan. Dari kakinya yang sudah diamputasi, tangannya yang patah, kepalanya yang botak karena luka, dan giginya yang tanggal dua. Abi tidak menyangka Delisa lebih kuat menerima semuanya. Menerima takdir yang telah digariskan oleh Allah.
Beberapa bulan pasca tsunami, Delisa sudah bisa menerima keadaan yang sangat pahit itu, dia memulai kembali kehidupan dari awal bersama ayahnya.Hidup di posko-posko yang didirikan sukarelawan lokal maupun asing. Hidup dengan orang-orang yang senasib, mereka korban tsunami yang kehilangan keluarga, sahabat, teman dan orang-orang terdekat.
Beberapa bulan berikutnya, Delisa mulai masuk sekolah kembali.Sekolah yang dibuka oleh tenaga sukarelawan. Dan tugas yang dianggap berat berikutnya bagi Delisa adalah mengembalikan hafalan sholatnya.Hafalan shalatnya hilang begitu saja. Namun, bencana yang melanda Aceh tersebut membuat Delisa lebih dewasa, lebih memahami makna ikhlas. Ikhlas untuk menerima keadaan, dan yang terpenting ikhlas untuk menghafal hafalan shalatnya.
Akhir dari novel ini, Delisa mendapatkan kembali hafalan sholatnya.
Melanjutkan hidup untuk kehidupannya. Menjalani semua dengan ikhlas. Suatu ketika, Delisa sedang mencuci tangan di tepian sungai, Delisa melihat ada pantulan cahaya matahari sore dari sebuah benda, cahaya itu menarik perhatian Delisa untuk mendekat. Tak dinyana, benda itu adalah kalung yang ada huruf D, D untuk Delisa. Delisa yakin itu adalah kalung yang dibelinya di toko Koh Acan bersama Ummi. Kalung untuk hadiah hafalan shalatnya. Selanjutnya yang membuat Delisa bertambah terkejut, kalung itu digenggam tangan manusia, tangan yang sudah tinggal tulang. Itu adalah Ummi Delisa.
3.      Analisis Novel Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye Menurut Pendekatan Mimetik
Analisis pendekatan mimetik pada novel “Hafalan Shalat Delisa” Karya Tere Liye disusun berdasarkan sistematika pembahasan, yaitu: 1) identifikasi aspek sosial dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye, 2) analisis aspek sosial dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye, 3) membuktikan aspek sosial sebagai bentuk peniruan dari kehidupan nyata dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye, dan 4) menganalisis aspek sosial dalam novel “Hafalan Shalat Delisa”  karya Tere Liye yang dihubungkan dengan dunia nyata.
Dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye dapat ditemukan beberapa keadaan dan masalah-masalah sosial di Aceh. Novel ini menceritakan keikhlasan  tokoh Delisa dalam menerima takdir yang sudah digariskan oleh Allah. Adapun keadaan dan masalah-masalah sosial tersebut antara lain : 1) adanya nilai religi, 2) gambaran mengenai peristiwa tsunami di Aceh, 3) percintaan, 4) semangat delisa yang tak pernah padam.

1). Adanya nilai religi
Dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye. Di gambarkan  bahwa pada saat adzan subuh suasana rumah keluarga Abi Usman sudah ramai seperti Cut Aisyah yang selalu membangunkan delisa dengan suara keras dan Cut Zahra yang sudah mengambil air wudhlu dan Cut Fatimah yang membangunkan Delisa dengan lembut untuk menunaikan shalat subuh. Hal ini dapat dilihat dari penggalan novel sebagai berikut. “Delisa bangun, sayang.....shubuh!” ( Tere Liye, 2008:10).
Seperti biasa setelah shalat subuh kakak-kakak Delisa mengaji dan tidak lupa Delisa pun menyetorkan hafalan shalat kepada Umminya. Hal ini terlihat dari penggalan novel sebagai berikut. “Delisa mendekati Ummi, membuka setorannya shubuh ini. Ummi menunggu. Delisa membaca taawudz dan bismillah pelan sambil memperbaiki kerudung birunya” (Tere Liye, 2008:14-15).
Ketika delisa bermain sambil menghafal hafalan shalat walaupun pada saat menghafal kakaknya seperti kak Aisyah dan kak Fatimah sering mengganggunya. Hal ini dapat dilihat dari penggalan novel sebagai berikut. “In-na sha-la-ti, wa-nu-su-ki, wa-ma...wa-ma... wa-ma ma-yah-ya... Wa-ma ma-ti....” (Tere Liye, 2008:23).
Keseharian keluarga Abi Usman seperti Ummi, Fatimah, Aisyah, Zahra dan Delisa selalu mengenakan kerudung. Hal ini dapat dilihat dari penggalan novel sebagai berikut. “Nggak pa-pa kan? Kerudung Ummi yang lain lagi kotor! Yang tersisa tinggal ini....” (Tere Liye, 2008:22)
Perihal nilai religi dalan novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye tidak terjadi di dalam novel saja. Tapi di dalam dunia nyata juga ada. Sebagai contoh pada keluarga Saya, ketika adzan subuh menggema Ibu selalu membangunkan anak-anaknya untuk sholat subuh tidak terkecuali Saya. Dan pada saat saya ngaji di TPQ An-Nur setiap hari sabtu agendanya adalah setoran hafalan doa-doa dan hafalan tuntunan shalat. Lalu pada saat sebelum maju setoran hafalan doa-doa dan hafalan tuntunan shalat Saya selalu deres terlebih dulu, agar pada saat maju lancar dan tidak terbata-bata. Keluarga Abi Usman yang selalu mengenakan kerudung yaitu dalam dunia nyata terlihat pada keseharian kaum perempuan Aceh yang diwajibkan mengenakan kerudung pada kesehariannya.

2). Gambaran mengenai peristiwa tsunami di Aceh
      Pagi itu Delisa bangun dengan semangat dan langsung menunaikan shalat shubuh bacaannya pun hampir sempurna. Hari itu memang hari yang mendebarkan karena pada hari itu juga Delisa akan maju menghadap Bu Nur untuk ujian praktek shalat anak-anak kelas satu ibtidaiyah. Nama Delisa dipanggil Delisa maju dengan perasaan sedikit gemetar namun hati kecil sebenarnya sudah mantap untuk pertama kalinya ia melaksanakan ujian praktek shalat yang sempurna dihadapan Allah. Saat Delisa Wa-ma ma-ti seketika semua air laut meluap kedaratan menyapu seluruh tanah Lhok Nga. Hal ini dapat di lihat dari penggalan novel berikut ini. “Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai ber-takbiratul-ihram; persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lauan luas yang berteriak tenang. Persis di sana! LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terbang seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggetarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian itu mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan” (Tere Liye, 2008:82-83).
      Perihal peristiwa tsunami pada novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye tidak hanya terjadi di dalam novel saja. Tapi di dalam dunia nyata juga ada. sebagai contoh kita para pembaca diingatkan kembali dengan bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Bencana tersebut telah memporakporandakan Kota Aceh.

3). Percintaan     
      Dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye, ditemukan masalah percintaan di dalamnya. Percintaan di dalam novel terdapat beberapa masalah percintaan dalam novel yaitu sebagai berikut. a) Delisa cinta Ummi karena Allah; b) Delisa cinta Abi karena Allah.
a). Delisa cinta Ummi karena Allah
      Dalam novel ini Delisa sangat mencintai Umminya. Dia selalu mencari cara untuk selalu di dekat Umminya. Hal ini dapat di lihat dari penggalan novel berikut ini. “Delisa.... D-e-l-i-s-a cinta Ummi.... Delisa c-i-n-t-a Ummi karena Allah” (Tere Liye, 2008:67).

b). Delisa cinta Abi karena Allah
      Dalam novel ini Delisa sangat mencintai Abinya. Saat Abinya sedang shalat tahajud Delisa memeluk erat leher Abinya dari belakang. Hal ini dapat di lihat dari penggalan novel berikut ini. “Abi.... A-b-i.... D-e-l-i-s-a c-i-n-t-a Abi karena Allah!” (Tere Liye, 2008:228).
                     
4). Semangat Delisa yang tak pernah padam
      Dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye ditemukan juga semangat tokoh Delisa yang akan menatap hidupnya kembali setelah bencana stunami beberapa minggu lalu. Bencana stunami telah membuat Delisa kehilangan Ummi, kakak-kakak, rumah, sekolah dan semua orang-orang tersayang. Walaupun dengan begitu Delisa tetap mempunyai semangat untuk melanjutkan hidupnya. Hal ini dapat di lihat dari penggalan novel berikut ini. “Bagi Delisa kehidupan sudah kembali. Bagi Delisa semua ini sudah berlalu. Bagi Delisa hari lalu sudah tutup buku. Ia siap meneruskan kehidupan. Tak ada yang perlu dicemaskan. Tak ada yang perlu ditakutkan. Delisa siap menyambung kehidupan;  meski sedikit pun ia belum mengerti apa itu hakikat hidup dan kehidupan”. (Tere Liye, 2008:186).
C.    SIMPULAN
Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa dan juga karya sastra merupakan hasil kreativitas dan imajinasi yang direpresentasikan dari kehidupan nyata. Kehadiran karya sastra tidak terlepas dari seorang pengarang yang menyampaikan hasil kreativitas dan imajinasinya kedalam bentuk bahasa. Bentuk bahasa yang dibangun, pengarang biasanya memberikan sentuhan-sentuhan kisah nyata yang ada dikehidupan masyarakat. Pada novel yang diangkat dari kisah nyata banyak memberikan pandangan bahwa dalam menjalani hidup ini harus ikhlas dalam menerima takdir dari Allah dan harus terus bangkit dalam segala hal apapun. Sosok Delisa adalah seoarang anak kecil yang ikhlas dalam menerima takdir yang sudah digariskan oleh Allah, walaupun ia harus terus melanjutkan hidupnya tanpa sosok Ummi dan Kakak-Kakak tercina.
Teori mimetik merupakan imitasi (tiruan) dari aspek-aspek yang ada didalam semesta. Jadi, ada dua hal yang saling berkaitan  dalam mimesis, yaitu antara yang diimitasi (alam semesta, kehidupan, karya sastra) dan imitasinya (tiruannya, karya sastra baru yang merupakan hasil saduran, disebut ciptaan kembali atau versi gubahan baru).
Dalam analisis pendekatan mimetik dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye. Di temukan aspek-aspek sosial di dalamnya. Aspek sosialnya berupa kepedulian orang tua yang mengajarkan nilai religi kepada anak-anaknya, gambaran tragedi tsunami, keikhlasan menerima takdir dan melanjutkan hidup kembali.
Dari novel “Hafalan Shalat Delisa” karya Tere Liye dapat ditemukan beberapa keadaan dan masalah-masalah sosial di Aceh. Novel ini menceritakan keikhlasan  tokoh Delisa dalam menerima takdir yang sudah digariskan oleh Allah. Adapun keadaan dan masalah-masalah sosial tersebut antara lain : 1) adanya nilai religi, 2) gambaran mengenai peristiwa tsunami di Aceh, 3) percintaan, 4) semangat delisa yang tak pernah padam.
DAFTAR PUSTAKA
Teeuw, P. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Liye, Tere. 2008. Hafalan Shalat Delisa. Jakarta: Republika.
http://www.artikelsiana.com.2015/04/pengertian-sastra.html.













      



Tidak ada komentar:

Posting Komentar